sejarah arsitektur pasca mardeka
sejarah arsitektur
kontemporer indonesia
1) PENDAHULUAN
Sebelum
masa kemerdekaan dunia arsitektur di Indonesia didominasi oleh karya arsitek
Belanda. Masa kolonial tersebut telah mengisi gambaran baru pada peta
arsitektur Indonesia. Kesan tradisional dan vernakuler serta ragam etnik di
Negeri ini diusik oleh kehadiran pendatang yang membawa arsitektur arsitektur
di Indonesia
Bentuk
arsitektur di Indonesia “asli” kemudian dimulai dari sebuah institusi
arsitektur di era setelah kemerdekaan. Selama periode tersebut sampai sekarang
arsitektur berkembang melalui proses akademik dan praktek arsitektur pada
sebuah arsitektur kontemporer Indonesia.
Di masa
penjajahan Belanda sebenarnya mata kuliah arsitektur diajarkan sebagai bagian
dari pendidikan insinyur sipil. Namun, setelah Oktober 1950, sekolah arsitektur
yang pertama didirikan di Institut Teknologi Bandung yang dulu bernama Bandoeng
Technische Hoogeschool (1923). Disiplin ilmu arsitektur ini diawali dengan 20
mahasiswa dengan 3 pengajar berkebangsaan Belanda, yang pada dasarnya pengajar
tersebut meniru system pendidikan dari tempat asalnya di Universitas Teknologi
Delft di Belanda. Pendidikan arsitektur mengarah pada penguasaan keahlian
merancang bangunan, dengan fikus pada parameter yang terbatas, yaitu fungsi,
iklim, konstruksi, dan bahan bangunan.
Semenjak
konflik di Irian Barat pada tahun 1955 semua pengajar dari Belanda dipulangkan
ke negaranya, kecuali V.R. van Romondt yang secara rendah hati bersikeras untuk
tinggal dan memimpin sekolah arsitektur sampai tahun 1962. Selama
kepemimpinannya, pendidikan arsitektur secata bertahan memperkaya dengan
memberikan aspek estetika, barat ke tanah Indonesia. Sekitar awal 1910-an
beberapa karya arsitek Belanda seperti Stasiun Jakarta Kota, Hotel Savoy Homan
dan Villa Isola di bandung sudah memberikan pemandangan barubudaya dan sejarah
ke dalam sebuah pertimbangan desain. Van Romondt berambisi menciptakan
“Arsitektur Indonesia” baru, yang berakar pada prinsip tradisional dengan
sentuhan modern untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kontemporer. Dengan kata
lain “Arsitektur Indonesia” adalah penerapan gagasan fungsionalisme,
rasionalisme, dan kesederhanaan dari desain modern, namun sangat terinspirasi
oleh prinsip-prinsip arsitektur tradisional.
Pada
tahun 1958, mahasiswa arsitektur ITB sudah mencapai 500 orang, dengan 12 orang
lulusan. Yang kemudian beberapanya menjadi pengajar. Pada bulan September 1959,
Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) didirikan. Sejak tahun 1961, kepemimpinan
sekolah arsitektur berpindah tangan pada bangsa Indonesia dengan Sujudi sebagai
ketuanya. Kemudian Sujudi mendirikan sekolah arsitektur di perguruan tinggi
lainnya. Masa ini juga juga dipelopori oleh Sujudi cs. bersama teman-temannya
yang menamakan diri ATAP.
Awal
tahun 1960-an, literature barat mulai masuk dalam diskursus pendidikan
arsitektur di Indonesia. Karya dan pemikiran para arsitek terkemukan seperti
Walter Gropius, Frank Lloyd Wright, dan Le Corbusier menjadi referensi
normative dalam diskusi dan pelajaran.
Iklim
politik pada saat itu juga sangat berpengaruh terhadap pola fikir masyarakat
terhadap teori dan konsep arsitektur modern. Karena di masa kepemimpinan Sukarno,
“modernitas” diberikan olah kepentingan simbolis yang merujuk pada persatuan
dan kekuatan nasional. Sukarno telah berhasil mempengaruhi secara mendasar
karakter arsitektur yang diproduksi pada masa iai memegang kekuasaan. Modern,
revolusioner, dan heroik dalam arsitektur membawa kita pada program pembangunan
besar-besaran terutama untuk ibukota Jakarta. Ia berusaha mengubah citra
Jakarta sebagai pusat pemerintahan kolonial menjadi ibukota Negara yang merdeka
dan berdaulat yang lahir sebagai kekuatan baru di dunia.
Pada
akhir 1950-an Sukarno mulai membongkar bangunan-bangunan lama dan memdirikan
bangunan baru, pelebaran jalan, dan pembangunan jalan bebas hambatan. Gedung
pencakar langit dan teknologi bangunan modern mulai diperkenalkan di negeri
ini. Dengan bantuan dana luar negeri proyek-proyek seperti Hotel Indonesia,
Pertokoan Sarinah, Gelora Bung Karno, By pass, Jembatan Semanggi, Monas, Mesjid
Istiqlal, Wisma Nusantara, Taman Impian Jaya Ancol, Gedung DPR&MPR dan
sejumlah patung monumen.
Ciri
khas proyek arsitektur Sukarno adalah kemajuan, modernitas, dan monumentalitas
yang sebagian besar menggunakan langgam “International Style”. Seorang arsitek
yang memiliki hubungan dekat dengan Presiden Sukarno pada masa itu adalah
Friedrich Silaban. Ia terlibat hampir semua proyek besari pada masa itu.
Desainnya didasari oleh prinsip fungsional, kenyamanan, efisiensi, dan
kesederhanaan. Pendapatnya bahwa arsitek harus memperhatikan kebutuhan
fungsional suatu bangunan dan factor iklim tropis seperti temperatur, kelembaban,
sirkulasi udara, dan radiasi matahari. Desainnya terekspresikan dalam solusi
arsitektur seperti ventilasi silang, teritisan atap lebar, dan selasar-selasar.
3) KESATUAN DAN KERAGAMAN BUDAYA
Sejak
kejatuhan Sukarno pada tahun 1965, pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan
Suharto menyalurkan investasi asing ke Jakarta dan telah melaksanakan rencana
modernisasi dengan tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia. Proyek yang
ditinggalkan Sukarno kemudian diselesaikan oleh Gubernur DKI Jakarta pada saat
itu Ali Sadikin.
Ali
Sadikin juga bermaksud menjadikan Jakarta sebagai tujuan wisata bagi wisatawan
dari Timur dan Barat. Sehingga pada tahun 1975, dikembangkan suatu program
konservasi bagian Kota Tuan di Jakarta dan beberapa situs-situ sejarah lainnya.
Program ini sedikit demi sedikit mengubah sikap masyarakat terhadap warisan
arsitektur kolonial.
Sejak
awal 1970-an, kondisi ekonomi di Indonesia semakin membaik, yang berdampak pada
kebutuhan akan jasa perencanaan dan perancangan arsitektur berkembang pesat.
Maka munculla biro-biro arsitektur yang menangani proyek badan pemerintahan,
BUMN, dan para “orang kaya baru”. Sayangnya para arsitek professional di
Indonesia tidak siap menerima tantangan besar tersebut. Yang tidak memiliki
pilihan doktrin fungsional dari arsitektur modern membelenggu pengembangan
karakter unik dalam arsitektur kontemporer pada masanya. Sementara itu kalangan
elit dan golongan menengah keatas mengekspresikan kekayaan dan status sosialnya
melalui desain yang monumental dan eklektik dengan meminjam ornamen arsitektur
Yunani, Romawi, dan Spanyol.
Kekecewaan
terhadap kecenderungan meniru dan eklektik ini membawa arsitek Indonesia pada
suatu gagasan untuk mengembangkan karakter arsitektur Indonesia yang khas.
Suharto memegang peran utama untuk membangkitkan kembali kerinduan pada
kehidupan pedesaan Indonesia, melalui tema-tema arsitektur etnik. Jenis
arsitektur ini kemudian dipahami sebagai langgam resmi yang dianjurkan.
Ditandai juga dengan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Para
arsitek muda sebagian besar juga kecewa terhadap tendensi eklektis dari
arsitektur modern di dalam negeri. Yang kemudian semakin menyoroti secara
simpatik pada arsitektur tradisional. Mereka menyoroti perbedaan kontras antara
arsitektur modern dengan arsitektur tradisional sedemikian rupa sehingga
arsitektur tradisional diasosiasikan dengan “nasional”, dan arsitektur modern
dengan “asing” dan “barat”.
Pada
pertengahan tahun 1970-an, masalah langgam dan identitas arsitektur nasional
menjadi isu utama bagi arsitek Indonesia. Terhadap masalah langgam dan
identitas arsitektur nasional pandangan arsitek Indonesia menjadi tiga kelompok
yang berbeda. Kelompok pertama berpendapat bahwa arsitektur Indonesia
sebenarnya sudah ada, terdiri atas berbagai jenis arsitektur tradisional dari
berbagai daerah. Implikasinya adalah penerapan elemen arsitektur tradisional
yang khas, seperti atap dan ornamen. Kelompok arsitek kedua bersikap skeptis
terhadap segala kemungkinan untuk mencapai langgam dan identitas arsitektur
nasional yang ideal. Kelompok ketiga adalah sebagian akademisi arsitektur yang
secara konsisten mengikuti langkah “bapak” mereka, V.R. van Romondt. Mereka
berpendapat bahwa arsitektur Indonesia masih dalam proses pembentukan, dan
hasilnya bergantung pada komitmen dan penilaian kritis terhadap cita-cita
budaya, selera estetis, dan perangkat teknologi yang melahirkan model dan
bentuk bangunan tradisional pada masa tertentu dalam sejarah. Mereka yakin
bahwa pemahaman yang lebih mendalam terhadap prinsip tersebut dapat memberikan
pencerahan atau inspirasi bagi arsitek kontemporer untuk menghadapi pengaruh
budaya asing dalam konteks mereka sendiri.
Dalam
periode 1980-1996 institusi keprofesian dan pendidikan arsitektur mengalami
perkembangan pesat, Pertumbuhan sector swasta yang subur serta investasi dengan
korporasi arsitektur asing mulai mengambil alih segmen pasar kelas atas di
ibukota dan daerah tujuan wisata seperti Pulau Bali. Dapat dikatakan bahwa
arsitektur kontemporer di Indonesia tidak menunjukkan deviasi yang radikal
terhadap perkembangan arsitektur modern di dunia pada umumnya.
Sebenarnya
pada pertengahan 1970-an telah ada usaha untuk menciptakan suatu langgam
khusus, suatu bentuk identitas “Indonesia”, tetapi hanya terbatas pada proyek
arsitektur yang prestisius seperti bandara udara internasional hotel, kampus,
dan gedung perkantoran. Sangat jelas bahwa proyek penciptaan langgam dan
identitas arsitektur Indonesia termotivasi secara politis.
Awal
tahun 1990-an ditandai pengaruh postmodernisme pada bangunan umum dan komersil
di Jakarta dan kota besar lainnya. Hadirnya kontribusi signifikan dari para
arsitek muda yang berusaha menghasilkan desain yang khas dan inovatif untuk
memperkaya khasanah arsitektur kontemporer di Indonesia. Di antaranya adalah
mereka yang terhimpun dalam kelompok yang sering dianggap elitis, yaitu Arsitek
Muda Indonesia (AMI). Dengan motto “semangat, kritis, dan keterbukaan” kiprah
AMI juga didukung oleh kelompok muda arsitek lainnya seperti di Medan, SAMM di
Malang, De Maya di Surabaya dan BoomArs di Manado. Untuk menciptakan iklim yang
kondusif bagi usaha kreatif di kalangan arsitek praktisi, Ikatan Arsitek
Indonesia (IAI) juga mulai memberikan penghargaan desain (design award) untuk
berbagai kategori tipe bangunan. Karya-karya arsitektur yang memperoleh
penghargaan dimaksudkan sebagai tolok ukur bagi pencapaian desain yang baik dan
sebagai pengarah arus bagi apresiasi arsitektural yang lebih tinggi.
Penghargaan
Aga Khan Award dalam arsitektur yang diterima Y.B. Mangunwijaya pada tahun 1992
untuk proyek Kali Code, telah berhasil memotivasi arsitek-arsitek Indonesia
untuk melatih kepekaan tehadap tanggung jawab sosial budaya.
Krisis
moneter tahun 1997 mengakibatkan jatuhnya pemerintahan Orde Baru telah
melumpuhkan sector property dan jasa professional di bidang arsitektur.
Diperlukan hampir lima tahun untuk kembali, namun kerusakan yang sedemikian
parah mengakibatkan kemunduran pada semua program pembangunan nasional.
Kini,
arsitek kontemporer Indonesia dihadapkan pada situasi paradoksikal: Bagaimana
melakukan modernisasi sambil tetap memelihara inti dari identitas budaya?
Karya-karya kreatif dan kontemporer kini menjadi tonggak baru dalam
perkembangan arsitektur Indonesia. Dengan pemikiran dan isu baru yang menjadi
tantangan arsitek muda. Seiring pergerakan AMI memberikan semangat modernisme
baru yang lebih sensitif terhadap isu lokalitas dan perubahan paradigma
arsitektur di Indonesia.
Dunia
arsitektur dewasa ini juga kini dihadapkan pada suatu isu baru. Krisis energi
karena sumber daya alam yang dieksploitasi sejak era industrialisasi dunia kini
terasa gejalanya. Perubahan iklim, pemanasan global, dan bencana lainnya menjadi
dampak dari krisis energi dan perusakan lingkungan. Jelas sekali dunia
konstruksi menjadi salah satu penyebabnya. Sepertinya pernyataan tentang isu
berkelanjutan melalui konferensi internasional yang menghasilkan pernyataan:
“… Sustainable development is development that meets the needs of
the present without compromising the ability of future generations to meet
their own needs…”(Bruntdland report, 1987)
Kini
menjadi keharusan karena tekanan keadaan.
Fenomena
ini yang kemudian memberikan pelajaran bagi arsitektur kontemporer Indonesia.
Dimana modernitas, lokalitas dan faktor ekologis kita yang memiliki iklim
tropis harus dikedepankan. Pencarian beralih menuju arsitektur modern tropis.
Beberapa arsitek muda kini juga berlomba-lomba untuk menyelamatkan keberadaan
bumi ini. Seperti Adi Purnomo yang banyak menghasilkan karya rumah tinggal yang
kaya akan area hijau, Jimmy Priatman yang berhasil membuat bangunan hemat
energi dan masuk nominasi Aga Khan Award, dan tokoh arsitek muda lainnya.
Isu
lainnya yang menjadi berkembang adalah ketersediaan lahan. Kurang berhasilnya
penerapan otonomi daerah pemerintahan reformasi kita ini tetap menjadikan kota
sebagai pusat perekonomian nasional. Akibatnya lahan di perkotaan semakin
menipis. Membuat karya arsitektur selain ramah lingkungan kini dihadapkan pada
suatu kenyataan penyempitan ruang binaan. Bangunan yang efisien dengan keadaan
dan “compact” dengan segala bentuk keadaan mulai ditinjau dalam penerapan
arsitektur kontemporer.
Tantangan
ini yang kemudian menjadi “pekerjaan rumah” (PR) para arsitek muda kita
sekarang dan untuk masa akan datang. Menjaga unsur lokalitas dan arus
globalitas, antara tradisi dan isu terkini harus segera dijawab dengan sebuah
karya yang nyata dan berkesinambungan.
Komentar
Posting Komentar