arsitektur indonesia
Asitektur Indonesia terdiri dari klasik-tradisional, vernakular dan
bangunan baru kontemporer. Arsitektur klasik-tradisional adalah bangunan yang
dibangun oleh zaman kuno. Arsitektur vernakular juga bentuk lain dari
arsitektur tradisional, terutama bangunan rumah hunian, dengan beberapa
penyesuaian membangun oleh beberapa generasi ke generasi. Arsitektur Baru atau
kontemporer lebih banyak menggunakan materi dan teknik konstruksi baru dan
menerima pengaruh dari masa kolonial Belanda ke era pasca kemerdekaan.
Pengenalan semen dan bahan-bahan modern lainnya dan pembangunan dengan
pertumbuhan yang cepat telah menghasilkan hasil yang beragam.
Arsitektur Klasik Indonesia
Ciri khas arsitektur klasik Indonesia dapat dilihat paada bangunan candi
dengan struktur menaranya. Candi Buddha dan Hindu dibangun dari batu, yang
dibangun di atas tanah dengan cirikhas piramida dan dihiasi dengan relief.
Secara simbolis, bangunan adalah sebagai representasi dari Gunung Meru yang
legendaris, yang dalam mitologi Hindu-Buddha diidentifikasi sebagai kediaman
para dewa. Candi Buddha Borobudur yang terkenal dari abad ke-9 dan Candi
Prambanan bagi umat Hindu di Jawa Tengah juga dipenuhi dengan gagasan makro
kosmos yang direpresentasiken dengan sebuah gunung. Di Asia Timur, walau
dipengaruhi oleh budaya India, namun arsitektur Indonesia (nusantara) lebih
mengedapankan elemen-elemen masyarakat lokal, dan lebih tepatnya dengan budaya
petani.
Budaya Hindu paling tidak 10 abad telah mempengaruhi kebudayaan Indonesia
sebelum pengaruh Islam datang. Peninggalan arsitektur klasik (Hindu-Buddha) di
Indonesia sangat terbatas untuk beberapa puluhan candi kecuali Pulau Bali yang
masih banyak karena faktor agama penduduk setempat.
Arsitektur vernakular di Indonesia
Arsitektur tradisional dan vernakular di Indonesia berasal dari dua sumber.
Pertama adalah dari tradisi Hindu besar dibawa ke Indonesia dari India melalui
Jawa. Yang kedua adalah arsitektur pribumi asli. Rumah-rumah vernakular yang
kebanyakan ditemukan di daerah pedesaan dibangun dengan menggunakan bahan-bahan
alami seperti atap ilalang, bambu, anyaman bambu, kayu kelapa, dan batu.
Bangunan adalah penyesuain sepenuhnya selaras dengan lingkungan sekitar.
Rumah-rumah di pedalaman di Indonesia masih banyak yang menggunakan bambu, namun
dengan seiring dengan proses modernisasi, bangunan-bangunan bambu ini sedikit
demi sedikit diganti dengan bangunan dinding bata.
Bangunan vernakular yang tertua di Indonesia saat ini tidak lebih
dari sekitar 150 tahun usianya. Namun dari relief di dinding abad ke-9 di candi
Borobudur di Jawa Tengah mengungkapkan bahwa ada hubungan erat dengan
arsitektur rumah vernakular kontemporer yang ada saat ini. Arsitektur
vernakular Indonesia juga mirip dengan yang dapat ditemukan di seluruh
pulau-pulau di Asia Tenggara. Karakteristik utamanya adalah dengan digunakannya
lantai yang ditinggikan (kecuali di Jawa), atap dengan kemiringan tinggi
menyerupai pelana dan penggunaan material dari kayu dan bahan organik tahan
lama lainnya.
Pengaruh Islam dalam Arsitektur
Budaya Islam di Indonesia dimulai pada tahun 13 Masehi ketika di Sumatra
bagian utara muncul kerajaan Islam Pasai di 1292. Dua setengah abad kemudian
bersama-sama juga dengan orang-orang Eropa, Islam datang ke Jawa. Islam tidak
menyebar ke kawasan Indonesia oleh kekuatan politik seperti di India atau Turki
namun lebih melalui penyebaran budaya. Budaya Islam pada arsitektur Indonesia
dapat dijumpai di masjid-masjid, istana, dan bangunan makam.
Menurunnya kekuatan kerajaan Hindu Majapahit di Jawa menandai bergantinya
periode sejarah di Jawa. Kebudayaan Majapahit tersebut meninggalkan kebesarannya
dengan dengan serangkaian candi-candi monumental sampai abad keempat belas.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa "Zaman Klasik" di Jawa ini
kemudian diganti dengan zaman "biadab" dan juga bukanlah awal dari
"Abad Kegelapan". Selanjutnya kerajaan-kerajaan Islam melanjutkan
budaya lama Majapahit yang mereka adopsi secara jenius. "New Era"
selanjutnya menghasilkan ikon penting seperti masjid-masjid di Demak, Kudus dan
Banten pada abad keenam belas. Juga dengan situs makam Imogiri dan istana-istana
Yogyakarta dan Surakarta pada abad kedelapan belas. Fakta sejarah menunjukkan
bahwa Islam tidak memperkenalkan bentuk-bentuk fisik baru dan
ajaran-ajarannyapun diajarkan lebih dalam cara-cara mistis oleh para sufi, atau
dengan kata lain melalui sinkretisme, sayangnya hal inilah yang mempengaruhi
‘gagal’nya Islam sebagai sebuah sistem baru yang benar-benar tidak menghapuskan
warisan Hindu ( lihat Prijotomo, 1988).
Penyebaran Islam secara bertahap di kawasan Indonesia dari abad ke-12
dan seterusnya dengan memperkenalkan serangkaian penting pengaruh arsitektur.
Namun, perubahan dari gaya lama ke baru yang lebih bersifat ideologis baru
kemudian teknologi. Kedatangan Islam tidak mengarah pada pengenalan bangunan
yang sama sekali baru, melainkan melihat dan menyesuaikan bentuk-bentuk
arsitektur yang ada, yang diciptakan kembali atau ditafsirkan kembali sesuai
persyaratan dalam Islam. Menara Kudus, di Jawa Tengah, adalah contoh dalam
kasus ini. Bangunan ini sangat mirip dengan candi dari abad ke-14 di era
kerajaan Majapahit, menara ini diadaptasi untuk kepentingan yang lebih baru dibangun
masjid setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Demikian pula, masjid-masjid di
awal perkembangan Islam di Indonesia murni terinspirasi dari tradisi bangunan
local yang ada di Jawa, dan tempat lain di Nusantara, dengan empat kolom utama
yang mendukung atap tengahnya. Dalam kedua budaya ini empat kolom utama atau
Saka Guru mempunyai makna simbolis.
Gaya Belanda dan Hindia Belanda
Pengaruh Barat di mulai jauh sebelum tahun 1509 ketika Marco Polo dari
Venesia melintasi Nusantara di 1292 untuk kegiatan perdagangan. Sejak itu
orang-orang Eropa berusaha untuk merebut kendali atas perdagangan rempah-rempah
yang sangat menguntungkan. Portugis dan Spanyol, dan kemudian Belanda,
memperkenalkan arsitektur mereka sendiri dengan cara awal tetap menggunakan
berbagai elemen arsitektur Eropa, namun kemudian dapat beradaptasi dengan
tradisi arsitektur lokal. Namun proses ini bukanlah sekadar satu arah: Belanda
kemudian mengadopsi unsur-unsur arsitektur pribumi untuk menciptakan bentuk
yang unik yang dikenal sebagai arsitektur kolonial Hindia Belanda. Belanda juga
sadar dengan mengadopsi arsitektur dan budaya setempat kedalam arsitektur
tropis baru mereka dengan menerapkan bentuk-bentuk tradisional ke dalam
cara-cara modern termasuk bahan bangunan dan teknik konstruksi.
Bangunan kolonial di Indonesia, terutama periode Belanda yang sangat
panjang 1602 - 1945 ini sangat menarik untuk menjelajahi bagaimana silang
budaya antara barat dan timur dalam bentuk bangunan, dan juga bagaimana Belanda
mengembangkan aklimatisasi bangunan di daerah tropis. Menurut Sumalyo (1993),
arsitektur kolonial Belanda di Indonesia adalah fenomena budaya unik yang
pernah ditemukan di tempat lain maupun di tanah air mereka sendiri.
Bangunan-bangunan tesebut adalah hasil dari budaya campuran kolonial dan budaya
di Indonesia.
Perbedaan konsep Barat dan Indonesia ke dalam arsitektur adalah terletak
pada korelasi antara bangunan dan manusianya. Arsitektur Barat adalah suatu
totalitas konstruksi, sementara itu di Timur lebih bersifat subjektif, yang
lebih memilih penampilan luar terutama façade depan. Kondisi alam antara
sub-tropis Belanda dan tropis basah Indonesia juga merupakan pertimbangan utama
bangunan Belanda di Indonesia.
Sebenarnya, Belanda tidak langsung menemukan bentuk yang tepat untuk
bangunan mereka di awal perkembangannya di Indonesia. Selama awal kolonisasi
Eropa awal abad 18, jenis bangunan empat musim secara langsung dicangkokkan
Belanda ke iklim tropis Indonesia. Fasade datar tanpa beranda, jendela besar,
atap dengan ventilasi kecil yang biasa terlihat di bagian tertua kota bertembok
Belanda, juga digunakan seperti di Batavia lama (Widodo, J. dan YC. Wong
2002).
Menurut Sumintardja, (1978) VOC telah memilih Pulau Jawa sebagai pusat
kegiatan perdagangan mereka dan bangunan pertama dibangun di Batavia sebagai
benteng Batavia. Di dalam benteng, dibangun rumah untuk koloni, memiliki bentuk
yang sederhana seperti rumah asli di awal tapi belakangan diganti dengan rumah
gaya Barat (untuk kepentingan politis). Dinding batu bata rumah, mereka
mengimpor bahan langsung dari Belanda dan juga dengan atap genteng dan interior
furniture. Rumah-rumah yang menjadi tradisi pertama rumah-rumah tanpa halaman,
dengan bentukan memanjang seperti di Belanda sendiri. Rumah-rumah ini ada dua
lantai, sempit di façade tapi lebar dalam. Rumah tipe ini selanjutnya banyak digunakan
oleh orang-orang cina setelah orang Belanda beralih dengan rumah-rumah besar
dengan halaman luas. Rumah-rumah ini disebut sebagai bentuk landhuizen atau
rumah tanpa beranda dalam periode awal, setelah mendapat aklimatisasi dengan
iklim setempat, rumah-rumah ini dilengkapi dengan beranda depan yang besar
seperti di aula pendapa pada bangunan vernakular Jawa.
Pada awalnya, rumah-rumah ini dibangun dengan dua lantai, setelah mengalami
gempa dan juga untuk tujuan efisiensi, kemudian rumah-rumah ini dibangun hanya
dalam satu lantai saja. Tetapi setelah harga tanah menjadi meningkat,
rumah-rumah itu kembali dibangun dengan dua lantai lagi.
Penentuan desain arsitektur menjadi lebih formal dan ditingkatkan setelah
pembentukan profesi Arsitek pertama di bawah Dinas Pekerjaan Umum (BOW) pada
1814-1930. Sekitar tahun 1920-an 1930-an, perdebatan tentang masalah identitas
Indonesia dan karakter tropis sangat intensif, tidak hanya di kalangan akademis
tetapi juga dalam praktek. Beberapa arsitek Belanda, seperti Thomas Karsten,
Maclaine Pont, Thomas Nix, CP Wolf Schoemaker, dan banyak lainnya, terlibat
dalam wacana sangat produktif baik dalam akademik dan praksis. Bagian yang
paling menarik dalam perkembangan Arsitektur modern di Indonesia adalah periode
sekitar 1930-an, ketika beberapa arsitek Belanda dan akademisi mengembangkan
sebuah wacana baru yang dikenal sebagai "Indisch-Tropisch" yaitu gaya
arsitektur dan urbanisme di Indonesia yang dipengaruhi Belanda
Tipologi dari arsitektur kolonial Belanda; hampir bangunan besar luar
koridor yang memiliki fungsi ganda sebagai ruang perantara dan penyangga dari
sinar matahari langsung dan lebih besar atap dengan kemiringan yang lebih
tinggi dan kadang-kadang dibangun oleh dua lapis dengan ruang yang digunakan
untuk ventilasi panas udara.
Arsitek-arsitek Belanda mempunyai pendekatan yang baik berkaitan dengan
alam di mana bangunan ditempatkan. Kesadaran mereka dapat dilihat dari unsur
konstruksi orang yang sangat sadar dengan alam. Dalam Sumalyo (1993,): Karsten
pada tahun 1936 dilaporkan dalam artikel: "Semarangse
kantoorgebouwen" atau Dua Office Building di Semarang Jawa Tengah:
1. Pada semua lantai pertama dan kedua, ditempatkan pintu, jendela, dan
ventilasi yang lebar diantara dia rentang dua kolom. Ruangan untuk tiap lantai
sangat tinggi; 5, 25 m di lantai pertama dan 5 m untuk lantai dua. Ruangan yang
lebih tinggi, jendela dan ventilasi menjadi sistem yang baik untuk memungkinkan
sirkulasi udara di atap, ada lubang ventilasi di dinding atas (di atas jendela)
2. Disamping lebar ruang yang lebih tinggi, koridor terbuka di sisi Barat
dan Timur meliputi ruang utama dari sinar matahari langsung.
Ketika awal urbanisasi terjadi di Batavia (Jakarta), ada begitu banyak
orang membangun vila mewah di sekitar kota. Gaya arsitekturnya yang klasik tapi
beradaptasi dengan alam ditandai dengan banyak ventilasi, jendela dan koridor
terbuka banyak dipakai sebagai pelindung dari sinar matahari langsung. Di
Bandung, Villa Isolla adalah salah satu contoh arsitektur yang baik ini (oleh
Schoemaker1933)
![]() |
Villa Isolla, salah satu karya arsitektur Belanda di
Indonesia
|
Arsitektur Kontemporer Indonesia
Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, bangunan modern mengambil alih
Indonesia. Kondisi ini berlanjut ke tahun 1970-an dan 1980-an ketika
pertumbuhan eknomi yang cepat Indonesia yang mengarah pada program-program
pembangunan besar-besaran di setiap sector mulai dari skema rumah murah,
pabrik-pabrik, bandara, pusat perbelanjaan dan gedung pencakar langit. Banyak
proyek bergengsi yang dirancang oleh arsitek asing yang jarang diterapkan diri
mereka untuk merancang secara khusus untuk konteks Indonesia. Seperti halnya
kota-kota besar di dunia, terutama di Asia, sebagai korban dari globalisasi
terlepas dari sejarah lokal, iklim dan orientasi budaya.
![]() |
Rumah-rumah kontemporer di Indonesia
|
Arsitektur modern Indonesia umumnya mulai di sekitar tahun 50an dengan
dominasi bentuk atap. Model bangunan era kolonial juga diperluas dengan teknik
dan peralatan baru seperti konstruksi beton, AC, dan perangkat lift. Namun,
sepuluh tahun setelah kemerdekaan, kondisi ekonomi di Indonesia belum cukup
kuat. Sebagai akibat, bangunan yang kurang berkualitas terpaksa lahir. Semua
itu sebagai upaya untuk menemukan arsitektur Indonesia modern, seperti halnya
penggunaan bentuk atap joglo untuk bangunan modern.
Arsitektur perumahan berkembang luas pada tahun 1980-an ketika industri
perumahan booming. Rumah pribadi dengan arsitektur yang unik banyak lahir tapi
tidak dengan perumahan massal. Istilah rumah rakyat, rumah berkembang,
prototipe rumah, rumah murah, rumah sederhana, dan rumah utama dikenal baik
bagi masyarakat. Jenis ini dibangun dengan ide ruang minimal, rasional
konstruksi dan non konvensional (Sumintardja, 1978)
Permasalahan untuk Arsitektur Indonesia
Gerakan-gerakan baru dalam arsitektur seperti Modernisme, Dekonstruksi,
Postmodern, dll tampaknya juga diikuti di Indonesia terutama di Jawa. Namun,
dalam kenyataannya, mereka menyerap dalam bentuk luar saja, bukan ide-ide dan
proses berpikir itu sendiri. Jangan heran jika kemudian muncul pandangan yang
dangkal; "Kotak-kotak adalah Modern, Kotak berjenjang adalah pasca
Modern" (Atmadi, 1997). Arsitektur hanya hanya dilihat sebagai objek bukan
sebagai lingkungan hidup.
Sumalyo, (1993) menyatakan bahwa pandangan umum arsitektur Barat: 'Purism',
di mana untuk menunjuk Bentuk dan Fungsi, adalah berlawanan dengan
konsep-konsep tradisi yang memiliki konteks dengan alam. Kartadiwirya, dalam
Budihardjo (1989,) berpendapat, mengapa prinsip tropis 'nusantara' arsitektur
jarang dipraktekkan di Indonesia adalah karena pemikiran dari proses
perencanaan tidak pernah menjadi pemikiran. Mereka hanya hanya mengajarkan
tentang perencanaan konvensional selama 35 tahun tanpa perubahan berarti sampai
beberapa hari. Sayangnya hamper semua bahan pengajaran dalam arsitektur berasal
dari cara berpikir Barat yang menurut Frick (1997) telah menghasilkan kelemahan
arsitektur Indonesia. Dia juga menjelaskan bahwa Bahan menggunakan bangunan
modern hanya karena alasan produksi massal yang lebih 'Barat' dan jauh dari
tradisi setempat. Kondisi ini telah memicu penggunaan bahan yang tidak biasa
dan tanpa kondisi lokal. Lalu bagaimanakah seharusnya arsitektur
Indonesia?
Komentar
Posting Komentar